Setelah mendirikan Kerajaan Arab Saudi pada 1932, Raja Abdulaziz al-Saud pusing bukan kepalang. Dia harus berputar otak untuk bisa melepaskan negaranya dari jeratan kemiskinan.
Masalahnya, Saudi kala itu berada di posisi sulit. Secara geografis, negara ini sangat kurang beruntung. Iklimnya panas dan 95% daratannya adalah gurun. Sumber air pun jarang.
“Bagaimana bisa maju kalau air saja gak ada,” begitu kira-kira pikir Raja Abdulaziz saat itu.
Atas dasar inilah perintah pertamanya sebagai raja adalah mengerahkan para insinyur asing untuk mencari sumber air. Menurut Toby Craig Jones dalam Desert Kingdom: How Oil and Water Forged Modern Saudi Arabia (2010), jika air tersedia, maka produksi pertanian dapat berjalan dan negara akan mendapat banyak pendapatan untuk menggerakkan pembangunan.
Apabila hal ini tidak terwujud, jelas kedudukan politik kerajaan akan goyah. Negara Saudi akan berumur pendek. Jadi, air menentukan kekuasaan politik.
Raja Abdulaziz meminta bantuan ahli geologi AS bernama Karl Twitchell. Twitchell sebelumnya sudah berpengalaman membangun infrastruktur di Yaman.
Bersama teknisi lokal, Twitchell menyusuri wilayah Barat. Tiap beberapa kilometer dilakukan pengeboran sedalam puluhan meter. Sayang, semuanya tidak membuahkan hasil. Abdulaziz frustasi. Sejak itu dia berpikir kalau Saudi mungkin ditakdirkan akan selamanya kekeringan dan jatuh miskin.
Tak lama berselang, Abdulaziz mendengar kabar kalau negara tetangganya, Iran, menemukan sumber minyak. Sumber minyak itu dipercaya akan membawa keuntungan besar bagi negara tersebut selama berpuluh-puluh tahun ke depan. Dari sini, kepercayaan diri Sang Raja muncul kembali.
Mengacu pada fakta kalau Iran dan Saudi memiliki kondisi geografis serupa, Abdulaziz yakin kalau negaranya juga menyimpan sumber daya melimpah. Tidak hanya air, tetapi minyak. Alhasil, dia memerintahkan kembali Twitchell memandori pencarian air dan juga minyak.
Menurut Naief M. Almtiri dalam Development of Oil and Societal Change in Saudi Arabia (1985), urgensi pencarian minyak tak terbendung karena tahun 1930-an Saudi terdampak krisis ekonomi yang membuatnya kehilangan penghasilan dari penurunan jumlah pengunjung ke kota suci Makkah dan Madinah.
Pada 1933, dimulailah operasi pencarian minyak. Kali ini menyasar wilayah Timur. Lagi-lagi, sebagaimana disebut Madawi Al-Rasheed dalam A History of Saudi Arabia (2012), objek yang dicari tidak ditemukan.
Barulah setelah 5 tahun melubangi tanah Arab, geolog pimpinan Marx Steineke dan warga lokal bernama Khamis bin Rimthan menemukan titik terang. Pada 3 Maret 1938, tepat hari ini 85 tahun lalu, emas hitam keluar dari perut bumi Arab Saudi untuk pertama kalinya.
Kabar ini disambut gembira oleh seluruh keluarga kerajaan. Setelah bertahun-tahun menunggu, akhirnya Saudi dapat juga durian runtuh.
Bahkan, temuan minyak ini memecahkan rekor dunia sebagai ladang minyak terbesar. Sejak itu pula, para ahli yakin masih banyak ladang minyak lain di Arab Saudi yang belum dieksploitasi.
Pihak kerajaan kemudian menjalin kerja sama dengan perusahaan AS, yakni Standard Oil Company of California (SOCAL). Kerja sama ini melahirkan perusahaan patungan bernama California Arab Standard Oil (CASOC) yang kemudian berubah nama menjadi Saudi Arabian American Oil Company (ARAMCO).
Seperti yang sudah diduga, sumur minyak itu membawa keuntungan besar selama berpuluh-puluh tahun kedepan. Negara makmur, kesejahteraan rakyat meningkat. Air tak lagi menjadi masalah, sebab mereka mampu melakukan filterisasi air laut menjadi air konsumsi. Semua itu terjadi karena punya uang.
Lebih dari itu, berkat temuan minyak pula, Saudi mampu naik kelas dan dipandang penuh kehormatan oleh seluruh negara, khususnya Amerika Serikat. Kini, Saudi berupaya tak lagi mengandalkan minyak sebagai sumber utama penghasilan dan menjadikan pariwisata sebagai roda penggerak ekonomi.